Banyak Anak Menjadi Pelaku Tindak Pidana! Masih Relevankah Batas Usia Anak di dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak?

UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Sumber: Google Images

Belakangan ini kita sering disajikan dengan pemberitaan tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak : 1) AG (15 tahun) yang terlibat kasus penganiayaan terhadap korban DO yang dilakukan Tersangka MDS selaku kekasih AG, 2) AJ (17) yang tega membunuh pacarnya yang berusia 14 tahun setelah berhubungan seks.

Kata kunci : Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Namun sebelum 2 kasus “anak yang berkonflik dengan hukum“ tersebut terjadi, sudah sering kita mendengar maraknya tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak dari berbagai kota di Indonesia, salah satu contohnya yang sering terjadi serta belum dapat diminimalisir bahkan dihentikan adalah maraknya gangster, klitih, dan aksi tawuran menggunakan senjata tajam yang meresahkan masyarkat dan sudah banyak menelan korban. Mirisnya lagi bahwa gangster, klitih dan tawuran tersebut diisi  dan dilakukan oleh anak-anak/remaja yang masih duduk di bangku SMP-SMA yang berusia 12-18 tahun.

Melihat fakta kenakalan anak yang terjadi saat ini, memberikan sinyal kepada pegiat hukum, ahli hukum, ahli psikolog anak, ahli psikiatri, ahli kesehatan dan masyarakat secara umum untuk berfikir lebih dalam lagi terkait masih relevankah batasan usia anak yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sudah ditentukan sebagai berikut :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Apakah Batasan Usia Anak Dalam SPPA Masih Relevan?

Bahwa batasan umur yang diatur di dalam undang-Undang diatas apakah sudah tidak lagi relevan untuk saat ini? mengingat pada kenyataanya saat ini usia pelaku “kejahatan dewasa” makin hari sering diisi oleh usia muda yang berusia 12-18 tahun, dan sering kali kita temui pelaku kejahatan mengerikan dan tidak manusiawi dilakukan oleh anak-anak diusia tersebut, namun alih-alih mereka mendapatkan sanksi pidana justru mereka  dilindungi oleh Undang-Undang diatas.

Lebih lanjut masih terkait batas umur anak yang terdapat dalam Pasal 32 UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menyebutkan bahwa penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum/pelaku tindak pidana bisa dilakukan apabila bersangkutan sudah genap berusia 14 tahun, Pasal ini apakah masih relevan dengan perkembangan anak saat ini?  Dengan pertimbangan hal ini justru dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban kejahatan dan tidak menimbulkan efek jera bagi anak yang melakukan tindakan kriminal. Selaras dengan hal tersebut Yanwar Arif selaku psikolog anak mengatakan “bahwa dalam psikologi saat seseorang berusia 14 tahun dia dinilai sudah mulai memahami dan mengerti kondisi sekitarnya sehingga dapat mengetahui benar dan salah, usia 15-16 tahun saat ini sudah bisa mempertanggungjawabkan perbuatanya, usia 17-18 tahun sudah tidak bisa dianggap anak-anak lagi”.

Namun menurut Ahli Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana menjelaskan bahwa ”tindak pidana yang dilakukan anak sudah marak terjadi sejak lama. Meski demikian menurunkan atau menambah batasan usia anak bukan menjadi solusi dari permasalahan maraknya terjadi tindak pidana oleh anak”. Lebih lanjut Gandjar menjelaskan bahwa “negara tidak cukup memberi perhatian pada anak, kok pingin anak bangsa sebagai generasi penerus baik-baik saja?. Terlebih keluarga bukan lagi orang terdekat, bukan lagi dijadikan tempat anak-anak saling berbagi tentang kehidupanya sehari-hari. Sehingga masalah hukum atau kejahatan anak tidak selamanya dapat diselesaikan melalui proses hukum karena akar masalahnya memang bukan hukum”.

Hal yang sama diungkapkan juga oleh Komisioner KPAI Dian Sasmita terkait pendekatan yang dilakukan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, menurutnya “upaya yang dilakukan dalam UU SPPA bertujuan untuk memulihkan rasa keadilan kepada korban, masyarakat, hingga pelaku atau anak dengan konflik hukum itu sendiri, pendekatan UU SPPA bukan penjaraan, namun melakukan pendekatan keadilan restoratife, UU SPPA dan UU Perlindungan Anak melihat anak dengan konflik hukum sebagai korban yang membutuhkan intervensi agar ada perubahan prilaku”.

Bahwa rentetan kejahatan/tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak, menunjukan bahwa anak masa kini bukan lagi anak yang menggemaskan dan membanggakan. terlebih batas umur yang diatur didalam Undang-Undang seolah dimanfaatkan bagi mereka yang mengaku anak untuk berbuat semena-mena yang dapat merugikan orang lain, namun terlepas dari tindak pidana yang dilakukan oleh banyaknya anak saat ini bisa jadi hal tersebut berawal dari mereka yang menjadi korban atas didikan dan pengawasan orang tuanya.

Pada intinya terlepas dari relevan atau tidaknya batasan umur yang terdapat di dalam UU SPPA dan UU Perlindungan Anak saat ini, sudah waktunya  badan legislatif (DPR RI) mengundang ahli hukum, ahli psikolog anak, ahli psikiatri dan ahli kesehatan untuk merumuskan kembali dan atau menemukan problem utama serta solusi dari maraknya kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur, dengan harapan kejatahan-kejahatan yang selayaknya dilakukan oleh orang dewasa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku anak berumur dibawah 18 tahun dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

BAGAIMANA MENURUT KALIAN?

Scroll to Top